Rabu, 30 Mei 2012

GUA HARIMAU DI PADANG BINDU (3) :





Fosil manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter ini ditemukan di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.
Duduk berselonjor di antara sisa-sisa rangka manusia prasejarah yang begitu rapuh, Ngadiran tampak begitu menikmati pekerjaannya. Satu per satu rangka manusia purba itu ia gambar sesuai dengan keletakannya. Inilah proses identifikasi akhir sebelum kotak galian ditutup kembali.
Hingga penggalian tahap kedua usai, sedikitnya 18 individu manusia penghuni gua yang sudah diidentifikasi. Sebagian besar rangka temuan dalam ekskavasi tim Puslitbang Arkenas di Gua Harimau—berada di perbukitan karst sekitar tiga kilometer dari Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan—itu relatif masih utuh. Satu di antaranya bahkan terlihat seperti orang menyeringai menahan rasa sakit.
"Lihat, ekspresinya persis kayak orang sakit gigi," kata Nurhadi Rangkuti, Kepala Balai Arkeologi Palembang, seraya menunjuk salah satu rangka di kotak galian nomor dua.
Meski sambil bergurau, Nurhadi Rangkuti sebetulnya tidak sedang bercanda. Hasil pengamatan Harry Widianto, ahli paleoantropologi yang juga adalah Kepala Balai Penelitian dan Pelestarian Situs Purbakala Sangiran, menguatkan dugaan itu. Bahwa, salah satu penyakit yang terlihat pada rangka-rangka manusia prasejarah dari Gua Harimau adalah adanya keropos gigi (karies) yang cukup signifikan.
Pada individu yang dirujuk Nurhadi, yang diidentifikasikan Harry sebagai laki-laki dewasa, kerusakan pada giginya terlihat begitu parah. Karies ini menyerang mulai dari mahkota gigi, akar gigi, dan berakibat pada bagian atas rahang bawah.
"Kondisi penyakit seperti ini akan memberikan rasa sakit luar biasa kepada si penderita," ujarnya.
Rupanya, dari hasil pengamatan Harry Widianto selama bertahun-tahun bergelut dengan sisa-sisa rangka manusia prasejarah, penyakit karies gigi seperti ini sangat menonjol pada ras Mongoloid. Bahkan, pada ras Mongoloid dengan budaya Austronesia yang merupakan cikal bakal sebagian besar manusia Indonesia (kecuali sejumlah kecil populasi di Indonesia bagian timur yang termasuk ras Australomelanesid) saat ini, fenomena karies gigi yang meluas tak hanya terjadi pada konteks prasejarah.
"Pada populasi manusia ras Mongoloid sekarang pun, seperti saya ini, juga banyak ditemukan mengidap penyakit karies gigi," kata Harry.
Terkait pola makan Berdasarkan ciri-ciri morfologis, kuburan massal manusia prasejarah di Gua Harimau memang menunjukkan identitas mereka sebagai bagian dari ras Mongoloid. Kecenderungan umum pada kehidupan manusia prasejarah ras Mongoloid lebih bertumpu pada kegiatan meramu tumbuhan. Model pola makan inilah yang diduga menjadi penyebab utama karies gigi pada mereka.
Berbeda dengan Homo erectus yang hidup selama masa Pleistosen (lebih dikenal dengan sebutan zaman es) dan ras Australomelanesid pada pertengahan pertama masa Holosen (sesudah Pleistosen). Kedua ras manusia prasejarah ini adalah pemburu sejati dan hanya sedikit meramu tumbuhan. Oleh karena itu, pola makan mereka lebih bertumpu pada protein hewani dan hanya sedikit mengonsumsi karbohidrat.
Pengamatan Harry Widianto terhadap lebih dari 200 gigi-geligi Homo erectus dari Afrika, Asia, dan Eropa yang hidup sekitar 1,5 juta-300.000 tahun lalu menunjukkan tidak satu pun individu yang terserang penyakit karies gigi. Begitu pun pada ras Australomelanesid, yang hidup di gua-gua prasejarah di Pegunungan Sewu (membentang dari Kali Oya di Gunung Kidul, DI Yogyakarta, hingga Teluk Pacitan di Jawa Timur) dan Kalimantan Selatan pada 13.000-5.000 tahun lalu, juga tidak ditemukan individu yang giginya keropos.
Sebaliknya, pada ras Mongoloid (baru muncul di Nusantara sejak 4.000 tahun lalu) dengan model alimentasi (diet, pola makan) lebih bertumpu pada makanan yang mengandung banyak karbohidrat, penyakit keropos gigi terlihat begitu menonjol. Lantas, di mana hubungan sebab-akibatnya?
Sudah jadi pengetahuan umum bahwa jenis makanan yang banyak mengandung karbohidrat, seperti padi-padian, talas, dan umbi-umbian akan meninggalkan sisa makanan yang lebih melekat pada gigi. Selain melekat pada gigi, karbohidrat juga memberikan banyak zat gula, yang diketahui sebagai penyumbang munculnya karies gigi. Hal semacam itu tidak terjadi pada para pemburu dan peramu yang mengonsumsi daging hewan.
Dengan demikian, kata Harry, terdapat hubungan yang sangat logis antara keropos gigi di kalangan Mongoloid dan model pola makan mereka yang lebih banyak mengonsumsi karbohidrat. "Besar kemungkinan pola makan tersebut, yang bertumpu pada ekonomi pertanian, yang telah memberikan penyakit gigi kepada kalangan Mongoloid," papar Harry Widianto.
Pola dan kebiasaan makan manusia Mongoloid prasejarah yang lebih bertumpu pada karbohidrat itu diduga terus berkembang ketika mereka membangun peradaban baru di luar gua, menjadi manusia menetap dengan membuka ladang-ladang pertanian. Jadi, tak usah heran apabila sebagian besar anak-cucu keturunan mereka hari ini (baca: bangsa Indonesia) lebih bergantung pada asupan makanan yang mengandung karbohidrat ketimbang protein hewani....
https://blogger.googleusercontent.com/tracker/1311888579207403717-6835839264681744411?l=yasirmaster.blogspot.com
Fosil manusia purba yang ditemukan di Goa Harimau diperkirakan berumur 3.000 tahun
Foto:


Banyak tanda tanya dari penemuan fosil manusia purba berumur 3.000 tahun di Gua Harimau, Desa Padangbindu, Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kamis pekan silam. Apalagi tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Departemen Budaya Pariwisata mengakui penemuan ini tergolong luar biasa di Indonesia.

Jangankan mendekatinya, mendengar nama Gua Harimau saja membuat bulu kuduk berdiri. Begitulah mitos yang tertanam di benak warga Desa Padangbindu. Dinamakan Gua Harimau karena pada zaman dahulu, di gua yang memiliki pintu masuk sekitar 40 m-50 m tersebut terkenal tempat harimau menyimpan hasil buruannya.
Gua dengan kemiringan 60 derajat hingga 80 derajat ini konon menjadi sarang harimau.

Seperti dituturkan Ketua Adat Desa Padangbindu, Kecamatan Semidangaji, Kabupaten OKU, Abdul Kori (72), kepada Sripo, Jumat (6/3), dahulu kala leluhur Desa Padangbindu bernama Sang Aji Bagur melarang anak cucunya mendekati Gua Harimau. Gua yang berjarak sekitar 1,5 km atau satu jam berjalan kaki dari Desa Padangbindu itu terkenal angker.

Bila ada yang berani mendekati wilayah itu dipastikan tidak akan selamat. Niscaya ia dimakan harimau. Kisah itu, menurut Kori, memang ada benarnya sebab ada beberapa warga yang pernah menemukan sisa-sisa tulang hewan di dalam gua.

Seiring berjalannya waktu, manusia pun semakin pintar. Mitos larangan mendekati Gua Harimau mulai dilanggar. Warga mulai berani mendekati Gua Harimau yang ternyata menyimpan harta karun sebab di langit-langit gua banyak sarang burung walet. Sejak itulah warga tidak takut lagi mendekati Gua Harimau untuk mencari rezeki. "Sekarang gua itu tidak lagi angker," urai Kori.

Bahkan, sudah banyak petani yang membuka kebun dan ladang di sekitar gua. Tiap hari Gua Harimau dilalui pejalan kaki menuju ladang. Maka keangkeran gua pun sirna.

Bentuk fisik gua

Versi lain mengatakan, nama Gua Harimau diambil dari bentuk fisik gua karena pintu masuk gua mirip mulut harimau yang sedang menganga, dengan gigi-gigi dan taring yang tajam.

Bila diperhatikan secara seksama bentuk fisik gua memang ada kemiripan dengan mulut harimau yang siap menyantap mangsanya.

Namun, hingga sejauh ini tokoh masyarakat setempat mengaku belum tahu persis asal mula gua yang memiliki langit-langit (atap gua) setinggi 20-30 meter itu sehingga dinamakan Gua Harimau.

Ketua Adat Desa Padangbindu mengakui, suasana di sekitar Gua Harimau dulu dan sekarang memang sudah jauh berbeda. Goa yang dulu terkenal angker dan sangat ditakuti warga kini tidak lagi.

Terbukti kedatangan tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional berhari-hari melakukan penelitian di lokasi di dalam gua. Hasilnya sangat mengagetkan. Peneliti berhasil menemukan fosil empat kerangka manusia prasejarah yang diperkirakan berumur 3.000 tahun di dalam gua.

Penemuan lainnya di dalam gua selain kerangka (lukisan di dalam gua dan kalung berbandul taring babi hutan) dan sejumlah peralatan rumah tangga yang terbuat dari batu. Temuan arkeolog di Desa Padangbindu ini menambah informasi lagi peradaban dan kebudayaan manusia purba.

Diposting Ulang Dari Dokumentasi Badan Arkeologi Dinas Paiwisata Nasional Republik Indonesia.

Di Sunting ulang Tanpa Perubahan ( Sesuai dengan Tampilan Aslinya)

GUA HARIMAU DI PADANG BINDU (2)



Ditemukan Kuburan Anak Raja Kuno

Tim Penelitian Arkeologi Nasional Puslit Arkenas Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI diketuai Prof DR Truman Simanjuntak berhasil menemukan 17 kerangka manusia kuno di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji Kabupaten OKU Sumsel.

Truman Simanjuntak yang ditemui di lokasi penggalian Kamis (14/4/2011) mengatakan Gua Harimau memperlihatkan indikator hunian prasejarah dan sekaligus hamparan kuburan. Terbukti sejak penelitian dari tahun 2008 hingga saat ini sudah 17 kerangka manusia kuno yang diperkirakan hidup 3.000 tahun lalu, ditemukan. Peneliti juga menemukan perkakas rumah tangga dari bahan logam.


Truman didampingi Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata OKU Aufa S Syarkomi, mengatakan tim peneliti akan melakukan penelitian dari tanggal 12 hingga 30 April mendatang di Gua Harimau.

Menariknya tim peneliti juga menemukan satu kuburan dengan tiga tengkorak digabung dalam satu liang. Menurut Truman penemuan ini semakin unik dan menarik untuk diteliti. "Mungkin yang meninggal ini anak raja atau pemimpin, biasanya pengawalnya ikut dibunuh dan dikubur dalam satu lubang supaya anak raja ini bisa ada teman didunianya yang baru," terang Truman seraya menambahkan itu baru analisa sementara, karena masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain.


Sejumlah kerangka manusia kuno ini dikubur dengan berbagai posisi (tidak satu arah), ada tengkorak orok. Baru separoh gua yang digali sudah ditemukan belasan tengkorak. "Sudah terlihat hamparan kuburan," kata Truman seraya menambahkan dapat disimpulkan Gua Harimau merupakan hunian dan sekaligus hamparan kuburan.

Berbeda dengan tempat-tempat lain yang biasanya kuburan tidak disatukan dengan hunian namun di Gua Harimau ini karena ukuran guanya luas sehingga bila ada anggota kelurga yang meninggal langsung dikubur di gua.

Gua ini tergolong luas dengan ukuran pintu masuk dan ruang gua-gua 40-50 M. langit-langit atap gua sangat tinggi sekitar 20-35 meter. Sementara ditempat-tempat lain kata Truman biasanya kuburan berada dipuncak-puncak gua supaya tidak mengganggu aktivitas penghuni gua.

Prof Truman kepada Aufa S Syarkomi yang melihat langsung aktivitas peneliti berjanji akan datang kembali ke lokasi. "Saya sangat tertarik dan ingin tahu lebih jauh seputar temuan penelitian di Gua Harimau ini," kata Aufa. Sedangkan Truman mengungkapkan akan melakukan penelitian dari tanggal 11 hingga 30 April mendatang di Gua Harimau.

Tim berjumlah 13 orang masing-masing Prof DR Truman Simanjuntak (ketua) Drs Wahyu dan anggota Saptomo M Hum, Dr Bagyo Prasetyo, Dr Fadilla Arifin Aziz, Jatmiko M Hum, Retno Handini MSi, Dwi Yani Yuniawati M Hum, Dariusman Abdillah ST, Dra Vita dan tiga tenisi Romania Lumban Gaol, Ngadiman dan Sigit Eko Prasetyo.

Jejak Prasejarah di Gua Harimau Setelah Banjir Bandang Berlalu...
Tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI melakukan penelitian situs purbakala yang ditemukan di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Di tempat ini ditemukan fosil manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter. Selain itu juga ditemukan lukisan pada dinding gua yang selama ini belum pernah ditemukan pada berbagai penelitian gua di seluruh Indonesia. Temuan lain di tempat ini berupa peralatan rumah tangga yang terbuat dari batu.
Lebih dari 28 tahun lalu kawasan Desa Padang Bindu dan sekitarnya dilanda bencana hebat. Banjir bandang meluluhlantakkan sejumlah desa yang ada di bagian hulu tepian Sungai Ogan itu. Tercatat 200 lebih orang tewas terseret air bah. Beberapa di antaranya hilang hingga kini, tidak bisa dilacak di mana kuburnya.
Ratusan rumah panggung yang ada di sana pun ikut disapu arus yang naik dan melimpas desa begitu cepat. Ulak Pandan dan Batanghari—dua desa yang mengapit Padang Bindu, di hilir dan hulunya—tercatat menderita paling parah.
"Waktu itu saya masih kelas II SD. Kami, tujuh bersaudara, hanya dua yang selamat. Lima saudara saya yang lain meninggal, satu di antaranya hilang. Sampai hari ini tidak terberitakan kalau-kalau ada orang yang menemukan mayatnya di daerah hilir sana," tutur Zarkoni (36), penduduk Desa Ulak Pandan.
Padang Bindu dan sekitarnya, yang secara administratif berada di wilayah Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, memang rawan banjir. Sungai Ogan merupakan daerah limpasan air yang turun dari gugusan perbukitan di lereng timur Pegunungan Bukit Barisan.
Begitu banyak mata air di sana, membentuk sungai-sungai kecil dan semua mengalir dan bermuara ke Sungai Ogan sebagai "induk"-nya. Sungai Ogan sendiri, bersama delapan sungai besar lain yang ada di Sumatera Selatan, pada akhirnya mengalir dan bermuara ke sungai yang lebih besar lagi: Sungai Musi!
Sejak tragedi tahun 1982 itu, peristiwa banjir dalam skala serupa memang tidak pernah terjadi. Akan tetapi, seiring perubahan bentang alam kawasan ini, ketika hutan-hutan di perbukitan terus dibuka untuk perladangan dan wilayah "hutan larangan" sebagai daerah tangkapan hujan di hulunya mulai diincar pemodal besar untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit, ancaman banjir bandang dalam skala yang mungkin lebih besar bukan suatu kemustahilan akan berulang. Lebih-lebih di tengah perubahan iklim global seperti sekarang.
"Takut nian, Pak, kami kalau sampai hutan di hulu sana 'dijual' oleh pemerintah untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Sebab, kabarnya daerah 'hutan larangan' itu sudah akan dibuka, tinggal menunggu waktu," kata salah seorang penduduk Padang Bindu.
Di tengah kekhawatiran sebagian kecil warga yang paham akan risiko banjir bandang yang mungkin suatu saat akan terulang, di tengah kian rusaknya kawasan perbukitan di pinggang timur Pegunungan Bukit Barisan di wilayah ini, sejak 10 tahun terakhir sebuah aktivitas kecil oleh tim penelitian dari Puslitbang Arkenas mencoba mengeksplorasi jejak-jejak hunian prasejarah di daerah mereka.
Hanya beberapa kilometer di seberang desa mereka, dipisah oleh Sungai Ogan yang berair keruh-pekat—tanda di bagian hulu terjadi erosi terus-menerus—terbentang gugusan perbukitan karst yang diselang-selingi tanah datar. Jauh lebih ke belakang, Pegunungan Bukit Barisan menjadi semacam penyekat bagian timur dan barat Pulau Sumatera.
Hasil penelitian awal cukup mencengangkan. Dari kotak-kotak galian di Gua Harimau saja sudah 18 individu manusia prasejarah ras Mongoloid yang berhasil diidentifikasi. Jarak antara satu individu dan individu yang lain sangat dekat. Lokasi kuburan pun menyebar di seluruh kotak yang digali, mengindikasikan Gua Harimau sebagai lokasi penguburan.
Di lokasi galian juga didapati distribusi artefak—berupa alat serpih terbuat dari rijang, obsidian, dan batu gamping kersikan—dalam sebaran yang cukup signifikan. Ini mengindikasikan fungsi gua tak hanya untuk pemakaman, tetapi sekaligus tempat hunian.
Jejak hunian masa lampau itu kini mulai terkuak. Akankah kawasan bersejarah itu rusak akibat keserakahan manusia masa kini?

https://blogger.googleusercontent.com/tracker/1311888579207403717-1234275132320652584?l=yasirmaster.blogspot.com
http://feeds.feedburner.com/%7Er/MisteriDuniaUnikAneh/%7E4/Z-belaixsqw?utm_source=feedburner&utm_medium=email
Kerangka Purba di Gua Harimau Para Penghuni Awal Sumatera
Fosil manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter ini ditemukan di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.

Tiga di antara 18 individu manusia prasejarah hasil ekskavasi tim Puslitbang Arkenas di Gua Harimau itu sepertinya dikubur pada saat bersamaan dalam satu liang. Persis di bawah rangka utama, dua rangka individu lain terlihat saling bersentuhan dalam posisi bagai menyangga "sang majikan" yang dikubur di atas keduanya.
Posisi penguburan yang unik sekaligus menimbulkan tanda tanya. Mungkinkah dalam sistem penguburan pada masa itu, antara 3.500 dan 2.000 tahun lalu, manusia prasejarah di Nusantara telah mengenal strata sosial di mana apabila ada tokoh atau orang-orang tertentu meninggal, maka perlu ada tumbal yang harus ikut dikubur? Mungkinkah sudah ada kepercayaan kehidupan setelah mati di alam lain sehingga "sang majikan" tetap perlu dilayani pascakematiannya?
"Segala kemungkinan selalu ada, tetapi yang pasti seluruh rangka manusia dari Gua Harimau merupakan ras Mongoloid," kata Harry Widianto, ahli paleoantropologi yang juga adalah Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.
Harry begitu yakin temuan "kuburan" massal di Gua Harimau adalah sisa-sisa rangka manusia prasejarah dari ras Mongoloid. Keyakinan itu berangkat dari ciri-ciri morfologis rangka temuan, terutama dari bentuk tengkorak yang meninggi dan membundar (brachycephal), tulang tengkorak bagian belakang (occiptal) yang datar, morfologi gigi seri, bentuk orbit mata, kedalaman tulang hidung (nasal), serta dari postur tulang dan tubuh mereka yang khas Mongoloid.
"Ciri-ciri morfologisnya memang menunjukkan identitas mereka sebagai bagian dari ras Mongoloid," kata Harry.
Siklus kehidupan Individu-individu itu umumnya dikubur dengan orientasi timur (kepala) dan barat (kaki). Lewat penguburan semacam ini, patut diduga bahwa mereka sudah mengenal semacam filosofi tentang siklus kehidupan. Arah timur sebagai lokasi kepala adalah arah matahari terbit, sedangkan barat sebagai arah kaki adalah arah matahari tenggelam. Dalam konteks ini, penguburan dengan orientasi semacam itu mengacu pada asal mula (timur) dan akhir (barat) dari kehidupan.
Filosofi itu juga tecermin dari adanya penguburan terlipat, yang menggambarkan posisi bayi di dalam perut sebelum ia dilahirkan. Dengan mengubur secara terlipat diharapkan pada saat kematian yang bersangkutan telah dibebaskan dari segala belenggu duniawi dan dikembalikan pada kehidupan awal pada saat dia mati.
"Dengan demikian, posisi penguburan terlipat tersebut mengisyaratkan individu tersebut kembali suci pada saat dia meninggal," tutur Harry Widianto.
Melalui temuan ini, teori baru tentang alur migrasi manusia prasejarah pendukung budaya Austronesia ke Nusantara perlu dibangun kembali. Paling tidak, teori lama bahwa "pendudukan" Sumatera oleh ras Mongoloid dari daratan Asia melalui Taiwan-Filipina-Sulawesi—kemudian dalam perjalanan migrasi mereka selanjutnya ke Madagaskar melalui Kalimantan, Sumatera, dan Jawa (dikenal sebagai teori "Out of Taiwan")—bukanlah satu-satunya kebenaran.

Sebab, temuan-temuan rangka manusia berikut artefak tinggalan budaya mereka di kawasan perbukitan karst Padang Bindu, Sumatera Selatan—juga temuan semasa di Ulu Tijanko, Jambi—menunjukkan usia yang sama tuanya (sekitar 3.500 tahun) dengan budaya Austronesia di Sulawesi, misalnya. Tafsir baru yang dapat dimajukan adalah bahwa sejak awal persebaran ras Mongoloid tidak hanya terjadi di bagian tengah Nusantara (jalur Taiwan-Filipina-Sulawesi), tetapi juga di bagian barat melalui daratan Asia Tenggara ke Sumatera-Jawa.
"Sisa-sisa rangka manusia di Gua Harimau, juga di Pondok Selabe dan Gua Putri yang masih dalam satu kawasan, adalah bukti dari pergerakan 'jalur baru' tersebut," kata Harry.
Patut diduga mereka inilah para penghuni awal Sumatera. Dalam tahap evolusi lebih lanjut, beribu-ribu tahun kemudian—setelah menanggalkan status sebagai "manusia gua" dengan hidup dan menetap di lembah dan dataran yang lebih luas—mereka pun membangun kebudayaan baru di daratan yang kini disebut sebagai Pulau Sumatera. Dan, Gua Harimau adalah salah satu lokasi kuburan para leluhur orang-orang Sumatera itu....

GUA HARIMAU DI PADANG BINDU (1):


Menyingkap Fajar Sejarah Sumatera

Posted: 18 Sep 2011


HANDOUT


Tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI melakukan penelitian situs purbakala yang ditemukan di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Di tempat ini ditemukan 4 fosil manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter. Selain itu juga ditemukan lukisan pada dinding gua yang selama ini belum pernah ditemukan pada berbagai penelitian gua di seluruh Indonesia. Temuan lain di tempat ini berupa peralatan rumah tangga yang terbuat dari batu. Tim peneliti dipimpin Prof DR Truman Simanjuntak dengan anggota 10 orang tersebut memulai penelitian secara intensif sejak tanggal 14 hingga 28 Febrauri 2009. Foto ini dirilis pada jumpa pers di Pendopo Kabupaten OKU, Rabu (4/3/2010) malam.
Daun dan semak di sepanjang jalan setapak menuju perbukitan karst itu masih basah oleh embun pagi. Kokok ayam dari kampung terdekat terdengar kian sayup. Di pertigaan jalan setapak yang licin itu, ketika jalan mulai menanjak, dua anggota rombongan memutuskan berpisah.Pindi dan Fadhlan sudah ditunggu penunjuk jalan yang akan membawa mereka ke satu ceruk gua di bukit sebelah timur. Dua hari sebelumnya diperoleh dari seorang penduduk penjaga sarang walet tentang keberadaan beberapa gua yang diduga menyimpan jejak hunian manusia, jauh di masa lampau.
"Tengah hari nanti kami akan menyusul ke Gua Harimau," kata Pindi Setiawan, ahli komunikasi visual dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), yang juga ahli lukisan gua prasejarah.
Fadhlan S Intan, geolog yang bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas), hanya berpesan kepada Nurhadi Rangkuti—Kepala Balai Arkeologi Palembang yang baru bergabung dengan tim sehari sebelumnya—agar berhati-hati menapaki jalan licin menuju Gua Harimau. "Licin, terjal, dan banyak pacet," kata Fadhlan setengah berteriak, sebelum 'menghilang' di tikungan jalan menanjak yang bersemak perdu.



Temuan istimewa 
Gua Harimau, itulah nama yang diberikan penduduk di sana. Gua Harimau, itu pula nama resmi yang sejak tiga tahun lalu masuk dalam peta penelitian arkeologi prasejarah Indonesia. Masyarakat setempat dan kalangan ilmuwan memang menggunakan kata "gua" (juga dalam pelafalannya, seperti juga tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) dan bukan "goa" (istilah yang sebetulnya tidak dikenal dalam bahasa Indonesia baku sehingga seharusnya dihindari, tetapi masih kerap dipakai) untuk menyebut liang atau lubang besar di kaki perbukitan.
Disebut Gua Harimau, konon—menurut para penduduk setempat—gua ini pernah menjadi tempat harimau berdiam. Lokasi gua cukup tersembunyi di lereng perbukitan karst, tertutup pepohonan tinggi dan penuh semak belukar di jalan setapak yang terjal menutup lereng bukit. Di bawahnya, sungai kecil (penduduk menyebutnya Aek Kaman Basah) mengalir dan bermuara ke Sungai Ogan.
Gua Harimau hanyalah satu di antara puluhan gua di daerah ini yang diindikasikan sebagai lokasi hunian manusia prasejarah. Namun, bagi para ahli arkeologi, Gua Harimau jadi istimewa karena—dari hasil ekskavasi sementara—selain ditemukan belasan rangka manusia purba, juga terdapat lukisan prasejarah.
Terkait keberadaan lukisan gua (art rock) itu, Truman Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkenas, bahkan menyebutnya sebagai temuan yang sangat spektakuler. Anggapan disampaikan karena selama ini ada semacam keyakinan di kalangan arkeolog bahwa di bagian barat Indonesia (baca: Jawa dan Sumatera) tidak tersentuh budaya lukisan gua. Anggapan itu didasarkan pada hasil penelitian sejak puluhan tahun lalu dan mereka hanya menemukan lukisan gua di wilayah Indonesia bagian timur.
"Akan tetapi, penemuan ini telah membalikkan anggapan tersebut, bahkan mengubah pandangan lama terkait zona sebaran lukisan gua di Asia Tenggara," kata Truman Simanjuntak.
Sebelumnya, dari sekitar 20 gua di kawasan ini yang telah dieksplorasi oleh tim Puslitbang Arkenas bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Perancis untuk Pembangunan atau Institut de Recherche pour le Developpement (IRD) pada awal tahun 2000-an, tidak satu pun yang menyimpan lukisan gua. Temuan yang diperolah hanya jejak-jejak hunian manusia dari rentang 9.000-2.000 tahun lalu.
Baru pada penelitian tahun 2009, arkeolog E Wahyu Saptomo yang bertindak sebagai ketua tim secara tidak sengaja menemukan sejumlah guratan di dinding dan langit-langit bagian timur laut Gua Harimau. Setelah diamati lebih cermat, guratan-guratan merah kecokelatan yang tak begitu jelas bentuknya itu tak lain adalah bagian dari apa yang dikenal sebagai lukisan prasejarah.
Sementara dari kegiatan ekskavasi di lantai gua, tim yang telah mengupas lapisan tanah hingga kedalaman 90 sentimeter menemukan belasan rangka manusia. Hasil identifikasi Harry Widianto, ahli paleoantropologi yang juga adalah Kepala Balai Penelitian dan Pelestarian Situs Purbakala Sangiran, menunjukkan bahwa manusia prasejarah yang terkubur di Gua Harimau adalah ras Mongoloid.
Dua jenis temuan (rangka manusia dan lukisan prasejarah) ini, berikut artefak-artefak pendukungnya, dinilai sangat penting sebagai bahan dasar untuk merekonstruksi sejarah peradaban prasejarah di kawasan ini pada khususnya dan Sumatera pada umumnya.

Sang pendahulu 
Berbeda dibandingkan dengan keberadaan manusia prasejarah di Pulau Jawa pada umumnya—sebutlah sepertiPithecanthropus erectus ataupun Homo soloensis dan Homo mojokertensis sebagai bagian dari Homo erectus—yang populasinya diperkirakan musnah pada kala Pleistosen, daur hidup ras Mongoloid dari Gua Harimau justru terus berlanjut. Begitupun manusia ras Mongolid prasejarah di wilayah Nusantara lainnya, yang masuk ke Nusantara sejak 4.000 tahun lalu.
Ras Mongoloid yang membawa budaya tutur Austronesia ini pada tahap evolusi berikutnya membangun peradaban baru: meninggalkan gua dan mulai mengembangkan tradisi bercocok tanam di perladangan. Tentu hal itu dalam wujud yang paling sederhana, sembari tetap meneruskan tradisi para pendahulunya sebagai manusia pemburu-peramu.
Sisa-sisa gerabah di antara alat-alat serpih dari rijang dan obsidian, serta batuan lain yang ditemukan dalam ekskavasi, menunjukkan bahwa mereka sudah memiliki kemampuan memanfaatkan alam lingkungan sekitar untuk kehidupan sehari-hari. Dikaitkan dengan temuan kubur-kubur yang berorientasi timur-barat sebagai simbol siklus kehidupan, juga keberadaan lukisan yang ditorehkan di dinding dan langit-langit gua, menguatkan dugaan bahwa mereka sudah mengenal kehidupan yang lebih kompleks daripada sekadar manusia pemburu-peramu.
Oleh karena itu, baik Harry Widianto maupun Truman Simanjuntak sepakat bahwa kehadiran mereka sekaligus menandai awal keberadaan nenek moyang bangsa ini. Kelompok ras Mongoloid yang tiba di Sumatera pada 4.000-3.500 tahun lalu, setelah kedatangan migrasi pertama kelompok ras Australomelanesid pada akhir Zaman Es sekitar 11.000 tahun lalu, inilah yang menghadirkan budaya tutur Austronesia; cikal bakal nenek moyang bangsa ini.
"Mereka adalah leluhur bangsa Indonesia sekarang," kata Truman Simanjuntak. "Saya percaya sisa-sisa (rangka) manusia dari Gua Harimau termasuk para penghuni awal manusia di Sumatera," kata Harry Widianto.
Kenyataan ini seharusnya makin menumbuhkan kesadaran ke-"bhinekatunggalika"-an kita sebagai bangsa. Dalam persebarannya di Nusantara, tiap kelompok beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda sehingga lambat laun melahirkan keragaman fisik dan budaya. Selanjutnya terjadi apa yang kemudian kini dikenal sebagai masyarakat yang plural dan multikultur.
"Inilah hakikat penting belajar prasejarah, yakni untuk memahami latar belakang keberadaan kita pada masa sekarang serta memberi arah dan nilai pada kehidupan masa depan," ujar Truman Simanjuntak.
Jadi? Mari terus kita rajut Nusantara!


Posted: 18 Sep 2011


PUSLIT ARKENAS/HANDOUT


Lukisan pada dinding Gua Harimau di Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, yang ditemukan tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Lukisan seperti ini belum pernah ditemukan pada berbagai penelitian gua di seluruh Indonesia. Tim peneliti juga menemukan empat fosil (kerangka) manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter. Temuan lain di tempat ini berupa peralatan rumah tangga yang terbuat dari batu.
Hingga lepas tengah hari, Pindi dan Fadhlan belum juga muncul. Sejak berpisah di jalan setapak yang licin di bawah bukit, saat embun pagi masih menempel di daun-daun kopi, pencarian mereka untuk mengeksplorasi jejak peradaban prasejarah di perbukitan karst itu belum juga berakhir. Pindi Setiawan adalah ahli komunikasi visual dari Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB), sedangkan Fadhlan S Intan adalah seorang geolog yang bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas). Hari itu, Pindi dan Fadhlan berniat mengeksplorasi sejumlah ceruk di tebing-tebing perbukitan karst di kawasan Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.
Sementara itu, arkeolog Nurhadi Rangkuti sudah bersiap-siap turun dari ceruk di sisi timur bukit. Di sana, di ceruk besar yang tersembunyi di antara rimbun pepohonan tinggi menjulang, yang oleh penduduk sekitarnya dikenali sebagai Gua Harimau, tim dari Puslit Arkenas masih terbenam dalam kegiatan masing-masing.
Beberapa peneliti melanjutkan pendataan dan pemetaan hasil temuan di 10 kotak ekskavasi. Sejumlah tenaga lokal mulai memotong-motong papan yang khusus didatangkan dari desa terdekat, Padang Bindu, untuk dijadikan kotak penutup belasan rangka manusia purba yang ditemukan selama ekskavasi pada kedalaman 0,5-1 meter dari permukaan tanah.
Sedikitnya 18 rangka manusia prasejarah yang berhasil disingkap dalam proses penggalian itu memang harus didokumentasikan sebelum lubang-lubang galian (masing-masing berukuran 1,5 x 1,5 meter) yang memanjang membentuk huruf L tersebut dipendam kembali ke perut bumi. Selain sebagai upaya pengamanan dari ulah tangan-tangan jahil dan binatang liar, juga untuk menghindari proses pelapukan yang lebih cepat akibat bersentuhan dengan udara luar.
Namun, kekhawatiran yang paling dirisaukan justru menyangkut keberadaan sejumlah "lukisan" prasejarah yang ditemukan di dinding dan langit-langit gua. Kakhawatiran itu sangat beralasan. Baru setahun setelah lukisan prasejarah di Gua Harimau itu diketahui keberadaannya oleh arkeolog E Wahyu Saptomo, tahun 2009, pada penelitian tahun berikutnya (20 September-3 Oktober 2010) beberapa guratan yang membentuk pola gambar itu sudah terkikis di sana-sini. Bahkan sudah muncul torehan baru oleh tangan-tangan jahil manusia masa kini.
Bentuk guratan yang terpusat di pojok timur laut gua itu memang masih sangat sederhana. Hanya berupa garis-garis datar sejajar, vertikal, atau gabungan keduanya sehingga saling bersilang, dan ada pula berupa lingkaran konsentris bersusun tiga. Beberapa di antaranya berbentuk seperti jala ataupun menyerupai anyaman tikar.
Belum ada gambar yang secara tegas bisa diidentifikasikan sebagai wujud hewan atau aktivitas manusia, misalnya. Keragamannya pun tidak sekaya motif lukisan gua seperti yang ditemukan di Sulawesi ataupun Kalimantan. Truman Simanjuntak, ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkenas, baru sebatas menyebutnya sebagai lukisan figuratif dan nonfiguratif.
Akan tetapi, temuan ini sangat penting bagi dunia arkeologi. Selain merupakan temuan pertama keberadaan lukisan gua di Sumatera (dan Jawa), temuan ini sekaligus bisa mematahkan pandangan lama atas zona sebaran lukisan prasejarah di kawasan Asia Tenggara, khususnya di Nusantara.
Lebih dari itu, dikaitkan keberadaan sisa-sisa rangka manusia berikut tradisi yang mereka bangun di kawasan ini, teori migrasi ras Mongoloid dengan budaya Austronesia yang mereka bawa dari daratan Asia—sebelum akhirnya menyebar ke selatan melalui jalur Taiwan-Filipina-Sulawesi—juga bisa berubah.



Masih misteri 
Ditemukan menyebar di bidang datar pada dinding dan langit-langit pojok timur laut gua, lukisan berwarna merah-kecoklatan itu dibuat menggunakan oker dari campuran butiran hematit dan tanah merah yang banyak terdapat di kawasan ini. Namun, hingga sejauh ini tim peneliti belum berani membuat kesimpulan sementara terkait fungsi dan makna guratan yang tertera di sana.
"Kemungkinannya banyak, tetapi satu hal yang bisa dikatakan adalah bahwa keberadaan gambar-gambar di Gua Harimau pasti terkait ritual tertentu. Ini bisa dilihat dari keletakan gambar dan keberadaan temuan rangka manusia yang ada di sana," kata Pindi.
Ahli komunikasi visual yang telah bertahun-tahun mendalami fenomena lukisan gua (Pindi sendiri menghindari penggunaan istilah lukisan ataupun seni untuk terjemahan rock art, ia lebih memilih istilah "gambar cadas") ini menduga, tiap gambar yang ada di Gua Harimau dibuat untuk upacara tertentu dan hanya dipahami oleh si pembuatnya. Artinya, anggota yang terlibat dalam ritual itu pun sesungguhnya tidak mengetahui makna gambar tersebut.
Mengingat masyarakat prasejarah belum mengenal konsep tentang huruf, gambar cadas adalah suatu sarana bagi mereka untuk berkomunikasi melalui rupa. Konsep ini tentu berbeda pada mereka yang sudah mengenal aksara (apa pun bentuknya), tetapi mencoba mengomunikasikan ide dan gagasannya melalui lukisan, misalnya. Begitu pun logika komunikasinya. Akan tetapi, satu hal yang pasti, ciri utama komunikasi pada umumnya adalah adanya pola yang berulang.
"Pola berulang itulah yang diwujudkan pada gambar cadas, yang kemudian pola informasi yang diguratkan pembuatnya itu akhirnya dipahami manusia prasejarah lainnya pada masa itu," ujar Pindi.
Seperti gambar cadas pada umumnya, keberadaan gambar-gambar prasejarah di Gua Harimau pun diyakini mengandung imaji-imaji yang mewakili pesan tertentu. Hanya saja, dari bentuk yang terpapar, Pindi menduga jenis imaji yang ditorehkan pada dinding dan langit-langit Gua Harimau lebih bersifat spontan. Bentuknya tidak mewakili apa yang dilihat mata (imaji mimetis), juga tidak merujuk pada apa yang dikhayalkan orang ataupun mencerminkan suatu konsep yang ada di benak.
Namun, apa pun bentuk dan seribu kemungkinan makna yang bisa ditafsir dari garis-garis merah kecoklatan itu, suatu cerita sudah diguratkan oleh para pendahulu kita: nenek moyang bangsa ini!


Posted: 18 Sep 2011


PUSLIT ARKENAS/HANDOUT


Lukisan pada dinding Gua Harimau di Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, yang ditemukan tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI. Lukisan seperti ini belum pernah ditemukan pada berbagai penelitian gua di seluruh Indonesia. Tim peneliti juga menemukan empat fosil (kerangka) manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter. Temuan lain di tempat ini berupa peralatan rumah tangga yang terbuat dari batu.
Keberadaan lukisan gua di perbukitan karst tak jauh dari Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, boleh dibilang sebagai temuan sangat spektakuler. Temuan lukisan (atau apa pun istilahnya) di Gua Harimau itu, seperti dikatakan oleh Truman Simanjuntak—ahli arkeologi prasejarah dari Puslitbang Arkenas—akan mengubah paradigma tentang lukisan gua di Indonesia. Temuan ini sekaligus mengisyaratkan keberadaan lukisan gua dari masa prasejarah lainnya di Sumatera (juga mungkin di Jawa). Selama ini ada keyakinan di kalangan arkeolog bahwa Indonesia bagian barat tidak tersentuh oleh tradisi lukisan gua.
Berpuluh-puluh tahun, lukisan gua hanya ditemukan di Indonesia bagian timur. Akan tetapi, lewat penemuan-penemuan baru di Kalimantan—khususnya di Kalimantan Timur—dalam beberapa tahun terakhir, keyakinan itu mulai goyah. Pandangan tadi kemudian direduksi hanya Sumatera dan Jawa yang tidak mengenal tradisi lukisan gua.
"Sekarang, melalui penemuan di Gua Harimau, anggapan bahwa Sumatera (barangkali juga Jawa) tidak mengenal tradisi lukisan gua tampaknya harus direvisi lagi," kata Truman Simanjuntak.
Menurut catatan Pindi Setiawan, ahli komunikasi visual dari ITB yang mendalami fenomena lukisan prasejarah, gambar cadas (istilah lain lukisan gua, rock art) merupakan warisan budaya gambar manusia paling tua, sekaligus paling lebar rentang waktunya. Sejak pertama kali dibuat pada sekitar 40.000 tahun lalu, gambar cadas tetap digambar hingga kini (baca: antara lain oleh masyarakat Aborigin di Australia).
Gambar cadas, kata Pindi, merupakan fenomena mendunia, dibuat oleh Homo sapiens yang belum mengenal semacam aksara dan tulisan. Namun, lewat gambar cadas yang ditorehkan di dinding dan langit-langit gua itu, Homo sapiens membuktikan bahwa mereka sudah punya kemampuan berimajinasi sekaligus mewujudkan imajinasinya dalam bentuk gambar.
"Tidak ada makhluk Tuhan lainnya yang memiliki kemampuan berimajinasi dan sekaligus mewujudkannya," kata Pindi.
Kalangan ahli meyakini bahwa lukisan prasejarah, terutama yang banyak ditemukan di dinding dan langit-langit gua, merekam buah pikiran (intuisi) tentang kehidupan masyarakat pendukungnya. Karena itu, gambar-gambar tersebut sesungguhnya juga memiliki fungsi sosial.
Ada pesan dan makna yang ingin disampaikan oleh pembuatnya. Pesan dan makna itu kebanyakan dalam bentuk simbol komunikasi nonverbal, yang tentu saja berbeda dengan model komunikasi melalui gambar yang dibangun oleh masyarakat berbudaya tulis.
Itulah "suara" dari masa silam. "Suara" yang diam di tengah riuhnya kemajuan peradaban hari ini.

Hasil Penelitian Badan Arkeologi, Sejarah dan Budaya, Departemen Pariwisata Nasional Republik Indonesia.


Kutipan Tidak Mengalami Perubahan (diposting Ulang Seperti Versi Aslinya)

Sumber;http://www.obbrow.info/


Selasa, 29 Mei 2012

CERITA PUYANG SUMATERA SELATAN


Oleh : Linny Oktovianny

KHASANAH 
kesusastraan daerah di Indonesia tersebar dari Sabang hingga Merauke. Kesusastraan tersebut lahir dari berbagai etnis, suku bangsa, yang berbeda gagasan, nilai, norma, dan aturan. Hal itu mencerminkan kekayaan khasanah kesusastraan daerah di Indonesia yang beragam baik bentuk maupun isi.
Sumatera Selatan merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki beragam kekayaan tradisi lisan. Tradisi lisan tersebut mencakup segala hal yang berhubungan dengan sastra, sejarah, biografi, dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian disampaikan dari mulut ke mulut.
Tradisi lisan Sumatera Selatan sangat luas bagaikan hutan belantara yang masih memerlukan sentuhan intelektual untuk menggali sumber-sumber atau potensi fakta dan budaya yang masih tersembunyi. Potensi dan fakta tersebut menurut Edy Sedyawati, paling tidak meliputi: (1) sistem genealogi; (2) kosmologi dan kosmogoni; (3) sejarah; (4) filsafat, etika, dan moral; (5) sistem pengetahuan (local knowledge), dan kaidah kebahasaan dan kesastraan.
Salah satu bentuk tradisi lisan adalah sastra lisan. Menurut Shipley, sastra lisan adalah jenis atau kelas sastra tertentu yang dituturkan dari mulut ke mulut, tersebar secara lisan, anonim, dan menggambarkan kehidupan masa lampau. Sastra lisan mencakup bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat. Cerita prosa rakyat dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu: mite, legenda, dan dongeng.
Cerita prosa rakyat Sumatera Selatan yang maih tetap bertahan dan dikenal masyarakat adalah cerita mengenaiPuyang-puyang. Cerita Puyang hampir terdapat di berbagai daerah di Sumatera Selatan. Cerita Puyang ini menjadi suatu cerita yang unik karena hanya dapat ditemukan di wilayah Sumatera Selatan_namun perlu dilakukan kajian dan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini_. Daerah lain di Indonesia juga ada cerita prosa rakyat yang memiliki tokoh sakti atau tokoh hebatan atau wira atau pahlawan dengan nama yang berbeda-beda.
Cerita Puyang biasanya dewa atau pahlawan kebudayaan ketika dunia belum seperti sekarang ini. CeritaPuyang hadir dan berakar pada kwalitas pemiliknya yang sekaligus sangat memercayainya dan mengagung-agungkannya. Cerita Puyang merupakan produk budaya yang disampaikan secara terus-menerus dan turun-temurun melalui pewarisan lisan. Terkadang disertai bukti-bukti sejarah, seperti benda-benda dan temapat-tempat keramat (makam atau tapak tilas) yang mendukung keberadaanPuyang-puyang.
Puyang diyakini oleh masyarakat Sumatera Selatan sebagai tokoh sakti yang merupakan sossok nenek moyang (keturunan) etnik tertentu di Sumatera Selatan. CeritaPuyang umumnya menampilkan tokoh dengan penampilan luar biasa. Keluarbiasaan biasanya ditandai dengan berbagai sifat yang tidak dimiliki oleh manusia biasa, di antaranya berupa tampilan sebagai manusia dengan sifat-sifat yang diidam-idamkan, yang mengherankan, atau yang menakutkan. Penampilan citra seperti itu sangat tergantung pada selera dan konteks masyarakat tempat lahirnyaPuyang-puyang tersebut.
Di Besemah kita begitu mengenal sosok Atong Bungsu, yang diyakini sebagai tokoh yang dimitoskan oleh masyarakat setempat sebagai tokoh sakti pembawa pembaharuan. Ada pula Si Pahit Lidah yang diyakini masyarakat di beberapa daerah di Sumatera Selatan juga sebagai tokoh yang dimitoskan. Kisah hidup Si Pahit Lidah begitu populer di kalangan masyarakat Sumatera Selatan.
Cerita Puyang Sumatera Selatan yang pernah diinventaris dan diteliti, antara lain:
(1) Puyang Belulus (Besemah)
(2) Puyang Tungkuk (Besemah)
(3) Puyang Kerbau Menyeberang (Besemah)
(4) Puyang Siak Mandi Api (Besemah)
(5) Puyang Tanjung (Besemah)
(6) Puyang Bege (Besemah)
(7) Puyang Depati Konedah (Musi)
(8) Puyang Ronan (Musi)
(9) Puyang Remanjang Sakti (Enim)
(10) Puyang Gadis (Lematang)
(11) Tuan Puyang Ndikat (Lematang)
(12) Puyang Rakian Sakti dengan Ratu Acih (Aji)
Cerita Puyang biasanya memiliki ciri-ciri tertentu dan merupakan sosok yang sangat hebat dan superior. Tokoh tersebut seolah-olah selalu tahu apa yang terjadi dan akan terjadi. Ia adalah sosok yang hampir tidak pernah kalah dalam segi apapun (mengalahkan dirinya dan orang lain). Kesaktian dan keajaiban yang dimilikinya sangat disegani oleh pengikutnya maupun musuh-musuhnya. Umumnya cerita Puyang-puyang tersebut senantiasa membawa pertolongan demi penyelamatan orang-orang yang berhati baik dan memiliki kebenaran dari orang-orang jahat yang menganiaya atau menzaliminya.
Puyang merupakan orang sakti atau orng suci dan bahkan kadang-kadang bagi sebagian pewaris aktifnya dianggap sebagai Dewa. Selain itu, Puyang adalah sosok yang baik hati bukan hanya kepada manusia tetapi makhluk lain, seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Puyang dapat pula berlaku sebaliknya kepada orang-orang jahat dan berkelakuan buruk. Dengan kesaktiannya yang luar biasa Puyang-puyang tersebut dapat menumpahkan kemarahannya dengan hukuman yang berat, bahkan mengutuknya. Nama Puyang-puyang biasanya sangat akrab dan dikenal luas di tengah masyarakat hingga kini.



Sumber tulisan:(http://kampoengilir.blogspot.com)

Senin, 28 Mei 2012

PERAHU AGUNG DI AYAH UGAN

oleh : Joni Lodeh
(dalam Bahasa Ogan)



Kawan,
Mase tehingat dekde kamu uhang tentang "Perahu Agung"? Yap, mereka ye mehase besak di Baturaje sebelum taun 1980-an khusunye pecinta ayah ugan, pasti mengenal perahu yang menjadi lambang PT. Pupuk Pusri ini.


menjadi logo pupuk 

Di Baturaje kite mengenalnye sebagai "Perahu Agung". Selain ukurannye relatif besak, perahu ye termasuk jenis "perahu kajang" ini memang datang endai KAYU AGUNG, Ibu Kota Ogan Komenering Ilir atau OKI.

Ye menjadi ingatan kolektif kite waktu itu adalah perahu ini khas, membawa keluarga lengkap gok kucing dan anjingnye, ye menjual tembikar atau gerabah tanah liat untuk keperluan huma tangge.

Biasenye, mereka "berlayar" berbulan-bulan dan singgah bebehape ahi di pangkalan ayah ye rami. Di Baturaje waktu itu biasenye mereka mangkal di bawah kayu ujan, pas di belakang Pasar Tugu. Atau di bawah batang kayu ujan di belakang Rumah Sakit. Atau di tangge pangkalan Langgar Ogan. Sementare di Sukajadi mereka singgah di pangkalan seberang Pabrik Es. Di daerah Saung Nage mereka manggal di bada manco mubil arak jeramba sepur daerah Jati (?)

Bagi mereka yang kanak-kanak inilah kesempatan untuk membeli "celengan", tabungan endai tanah liat dengan berbagai bentuk, seperti ayam, kucing, kendi, dan yang paling murah hanya berbentuk bulatan seukuran pinggan.

Mereka juge menjual tungku, cirek, kendi, pinggan, sampai mainan tiup berbentuk burung dengan lubang yang ditutup gok jahi dan mengeluarkan bunyi perkutut.


sebagai aikon kota kayu agung
Uhang Kayu Agung memang jagonye kerajinan. Mulai endai pertukangan, ukiran, sampai kekerajinan tembikar atau gerabah, jeme Komering ahlinye. Konon, keahlian jeme kayu Agung membuat tembikar menggunakan "teknik putar miring" ini hanye ade sedikit di dunie. Di Asia mak ini konon hanya ade di Pagerjurang, Bayat Kab. Klaten Jawa - Tengah. Sementare di Kayu Agung sejak tahun 1980-an sude punah alias ngatek agi.

Balek ke "perahu agung", menurut sejarah merupakan evolusi endai perahu-perahu Cine.Perahu ye berukuran +/- 8 meter wan lebah +/- 2 meter ini memiliki kekhasan yaitu atapnye tebuat endai daun nipah yang terdiri endai 3 bagian di mane di bagian depan disebut gok Kajang Tarik (karena memang bisa di tarik untuk melindungi dari hujan dan terik matahari) di tengah di sebut gok kajang tetap karena permanen dan dibelakang disebut gok tunjang karang.

Ke khasan juga terdapat di bagian depan perahu ye disebut gok "selungku" tonjolan lok kepala ye berfungsi untuk meredam hantaman perahu saat membentur sesuatu. perahu ye dulunya terbuat dari kayu rengas (Latin Melanorrhoea wallichii, uhang Cine menyebutnye Chat-si atau Kayu Hantu, selain bada jeme nyakah roh alus, getah rengas amen kene badan nak matilah. Dulu thn 80-a ade sebatang di belakang rumah sakit umum) --ini mak ini sude dekde tekinak agi. Juge di sungai-sungai lain di Sumatera temasok sungai Musi.

Walau mak itu "perahu agung" mase melekat dalam ingatan kolektif kite, ye ngajungkan kite dulu dek tekelap tidoh gara-gara nak mbeli mainan tiup endai tanah liat berbentuk burung ye bunyinye mirip perkutut.

Sumber Tulisan : (http://jonilodeh.blogspot.com).