Sabtu, 26 Mei 2012

PERAHU TRADISIONAL YANG MELAYARI SUNGAI BATANGHARI SEMBILAN

Secara tradisional masyarakat etnik Melayu, menjadikan sungai bagian yang tidak terpisahkan dalam budayanya, apalagi pada masanya sungai menjadi andalan dalam melancarkan perhubungan dengan wilayah pedalaman, yang masih asing dan rimba-belantara yang kaya hayatinya. Tidak terkecuali dalam hal ini, masyarakat melayu yang dengan lingua-francanya, sehari-hari menggunakan bahasa Ogan, yakni masyarakat yang hidup di sepanjang Sungai Ogan, sungai yang bermuara ke Sungai Musi, yang menjadi penghubung muara-muara sungai-sungai besar lain, dan disebutlah dengan wilayah "Batanghari Sembilan", yang pada akhirnya bermuara ke Laut juga (tepatnya di Selat Bangka).
Dari laut itu pulalah, titik awal masuknya kapal-kapal dan perahu-perahu tradisional dari mancanegara dengan sarat muatan yang melayari sungai-sungai di Batanghari Sembilan, utamanya Sungai Musi, sehingga menjadi jalur perdagangan internasional yang ramai, terutama setelah berdirinya Kerajaan Sriwijaya di Palembang.  Bahkan Palembang, sebagai pusat kekuasaan, tidak saja ramai dengan kehadiran para pedagang mancanegara, tapi juga mengundang kehadiran para pelajar Perguruan Tinggi untuk memperdalam Agama Budha di Universitas Nalanda. Jalur Sungai Batanghari Sembilan tetap ramai, begitu pula Kota Palembang sebagai pusat kekuasaan, sampai ke periode Islam berdirnya Kesultanan Palembang, pasca runtuhnya Dinasty Saylendra yang menguasai Kerajaan Sriwijaya.
Kapal-kapal yang dari Dinasty Saylendera, yang mengawali pelayarannya kepedalaman Batanghari Sembilan, dapat dilihat pada relief di Candi Borobudur.

 

Kapal-kapal inilah yang kemudian menjadi alat transpotasi perdagangan, angkut penumpang, dan bahkan menjadi kapal perang untuk pertahanan wilayah maritim, maupun ekspansi kekuasaan ke wilayah lain, sampai ke negeri Syiam (sekarang:Thailand).
Sementara untuk melayari wilayah sungai-sungai yang jauh dipedalaman dan juga sebagai alat transportasi sehari-hari dilakukan oleh masyarakat, di antaranya di sebut dengan "Perahu Kajang". (lihat seperti sketsa di bawah ini)
Perahu sejenis ini, juga dipakai sebagai alat transportasi masyarakat yang mendiami sepanjang sungai ogan, termasuk masyarakat ogan Dusun Durian (Hang Drian) ,yang merupakan keturunan dari Puyang Raden Dasun, pada masanya.
Dalam bentuk yang lebih riil dari perahu kajang ini, masih digunakan oleh masyarakat Batanghari Sembilan di tahun-tahun belakangan ini yang masih tersisa, seperti gambar di bawah ini :

Demikian sekilas atau selayang-pandang tentang alat transportasi tradisional yang dipakai di sungai Batanghari Sembilan. Jika social-memory ini masih ada, kita bisa membandingkanya dengan Venesia di Eropa, maka inilah Venesia Van Sumatera (Venesia di Sumatera) yang lebih natural, bukan buatan. (foto-foto diambil dari berbagai sumber).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar